Klenteng Sam Poo Kong
Klenteng Sam Poo Kong merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang berada di daerah Semarang, Jawa Tengah. Klenteng Sam Poo Kong ini merupakan sebuah gua batu yang digunakan sebagai tempat tinggal oleh Laksamana Cheng Ho ketika mendarat dan berlabuh di Semarang. Klenteng Sam Poo Kong merupakan peninggalan sejarah yang digunakan untuk menghormati jasa Laksamana Cheng Ho yang menyebarkan perdamaian, ajaran Islam, dan uga mengajari penduduk untuk bercocok tanam, melaut, dan berdagang.(1) Menurut Sejarah, Klenteng ini dulunya merupakan sebuah masjid.(2) Bangunan tersebut dijadikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya karena terpendam nilai-nilai sejarah dan kebudayaan yang berkembang di daerah Semarang. Selain itu, Klenteng Sam Poo Kong juga merupakan bukti nyata sebuah akulturasi Budaya dan Agama yang ada di Indonesia. (3)
Klenteng Sam Poo Kong dibangun dengan tujuan sebagai tempat untuk ibadah, berdoa dan sembahyang suku Tionghoa. Sebagi tempat ibadah dan pemujaan, klenteng ini terdiri dari lima bangunan pemujaan yang memiliki fungsi dan maknanya masing-masing.(4) Pertama, klenteng pemujaan Dewa Bumi atau Tho Tee Kong yang merupakan tempat ibadah bagi umat yang menganut aliran Daoisme, Buddhisme, dan Konfusianisme. Klenteng ini digunakan untuk mengucapkan rasa syukur atas rahmat kekayaan pangan yang diberikan. Kedua, Klenteng Pemujaan Makam Mbah Kyai Jurumudi. Mbah Kyai Juru Mudi Dampu Awang merupakan kapten armada pelayaran Laksamana Cheng Ho bernama asli Wang Jing Hong. Terdapat makam Kyai Juru Mudi di dalam klenteng pemujaan ini yang juga difungsikan sebagai tempat berziarah bagi seluruh umat baik yang beragama Daoisme, Buddhisme, Konfusianisme, hindu, Kristen, dan semua ajaran agama. Ketiga, Klenteng Utama Pemujaan Sam Poo Kong yang di dalamnya terdapat Patung Laksamana Cheng Ho. Klenteng utama ini digunakan untuk menghormati jasa para leluhur dan juga jasa Laksamana Cheng Ho.
Keempat, Klenteng Pemujaan Mbah Kyai Jangkar yang didalamnya terdapat Jangkar yang merupakan lambing kapal Armada Laksamana Cheng Ho. Klenteng ini selain menyimpan pusaka tersebut, juga dijadikan sebagi tempat sembahyang Nabi Kong Hu Tju yang merupakan filsuf besar dari Tiong Hoa dengan lima ajaran moralnya. Lima ajaran moral tersebut adalah Ren (Kemanusiaan), Yi (Persahabatan), Li (Kesusilaan), Zhi (Bijaksana), dan Xin (Saling bisa dipercaya). Kelima, Klenteng Pemujaan Mbah Kyai Tumpeng dan Curudik Bumi. Mbah Kyai Tumpeng dan Mbah Kyai Curudik Bumi merupakan sepasang suami isteri yang menjadi pengikut Laksamana Cheng Ho. Lokasi makam ini dahulunya digunakan oleh para pelat dan pengikut Laksaman Vheng Ho sebagai tempat untuk melaksanakan santap bersama dan selamatan bersama dengan penduduk setempat. (4)
Keberadaan Klenteng Sam Poo Kong ini menjadi salah satu bentuk keharmonisan agama di Indonesia. Bangunan ini secara tidak sengaja terjadi pembauran dua etnis di dalamnya yaitu Cina dan Jawa. Bagi etnis Cina, Klenteng merupakan tempat untuk berdoa dan sembahyang. Sementara itu, bagi masyarakat Jawa, apa yang terdapat di dalam klenteng tersebut dipercaya dapat memberikan berkah dalam menjalani kehidupan. (5)
Referensi:
1. Iftitah Nurul Laily. Kelenteng Sam Poo Kong, Saksi Perjalanan Laksamana Cheng Ho - Nasional Katadata.co.id [Internet]. 2021 [dikutip 30 Januari 2022]. Tersedia pada: https://katadata.co.id/redaksi/berita/611b7ea316b30/kelenteng-sam-poo-kong-saksi-perjalanan-laksamana-cheng-ho
2. Titi Soerya. Gedung Batu di Semarang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan; 1981 1982.
3. Isbania Afina Syahadati. Klenteng Sam Poo Kong: Sebuah Akulturasi Budaya dan Agama [Internet]. Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. 2020 [dikutip 30 Januari 2022]. Tersedia pada: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/klenteng-sam-poo-kong-sebuah-akulturasi-budaya-dan-agama/
4. Suci Mentari. BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA BANGUNAN KLENTENG SAM POO KONG DI SEMARANG [Skripsi]. [Medan]: Universitas Sumatera Utara; 2017.
5. Edi Nurwahyu Julianto. Spirit Pluralisme dalam Klenteng Sam Po Kong Semarang. JTM. 1 Juli 2015;7(2):36.