Gus Dur
GUS DUR SANG GURU BANGSA
Salah satu putera terbaik bangsa Indonesia yang sangat bersahaja dan bijaksana adalah orang yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-4. Beliau dikenal dengan nama Abdurrahman Wahid. Memiliki nama asli Abdurrahman Addakhil dan merupakan putra sulung dari KH Wahid Hasyim dan cucu dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.(1) Sosok Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur menjabat Presiden RI ke-4 mulai 20 Oktober 1999 hingga 24 Juli 2001. Beliau lahir tanggal 4 Agustus 1940 di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Gus Dur dikaruniai 4 orang anak dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.(2)
Lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Gus Dur tumbuh menjadi anak yang disiplin khususnya dalam menuntut ilmu dan dalam menerapkan akidah islam. Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya.(2) Gus Dur pertama kali belajar mengaji dengan sang kakek, KH Hasyim Asy'ari. Di usia 5 tahun, Gus Dur sudah bisa membaca Al-Qur'an. Selepas lulus sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan. Di saat yang sama dia juga ngaji di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.(1) Selesai dari SMEP, Gus Dur melanjutkan ke Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah selama dua tahun lalu ke Pondok Pesantren Tambak Beras di Jombang.(1) Setelah itu Gus Dur dikirim belajar ke Al-Azhar University, Kairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah) dari tahun 1964 sampai 1966, lalu ke Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab pada 1966 hingga 1970.(1) Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1971.(1)
Perjalanan karir Gus Dur sebagai Guru Bangsa dimulai saat beliau merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-`aqdi yang diketuai K.H. As`ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo yang kemudian kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).(2) Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4.
Kendati menjadi sosok yang kontroversial Gus Dur sangat berjasa bagi bangsa Indonesia. Beliau meninggalkan banyak ilmu bagi rakyat Indonesia terutama semangat menjaga persatuan dan kesatuan dengan bingkai Pluralisme. Ia mengusung ide-ide besar tentang demokrasi, humanisme, keadilan, persamaan hak dan hukum atas semua warga, multikultur, dan pluralisme.(3) Beragamnya identitas yang dimiliki bangsa ini di satu sisi bisa menjadi bagian dari kekayaan bangsa dan di sisi lain juga bisa menjadi ancaman bagi integritas bangsa. Menjadi perekat atau ancaman bagi kesatuan bangsa ini tergantung pada sikap masyarakat dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada.(3) Gus Dur melihat krisis yang dialami bangsa Indonesia berupa ancaman perpecahan dan hilangnya identitas kebhinekaan bangsa. Terjadinya konflik di Ambon pada tahun 1999 sampai 2004 menjadi catatan sejarah yang penting untuk bangsa ini dalam melihat adanya potensi konflik mengatasnamakan agama. Gus Dur sadar bahwa perpecahan diantara umat beragama akan berdampak fatal terhadap keberlangsungan berbangsa dan bernegara. Beliau tidak menginginkan keangkuhan dalam beragama. Gengsi akan eksistensi entitas ras, etnis, agama dan sebagainya hanya akan menimbulkan kemerosotan akidah dan nasionalisme yang tentunya lambat laun akan menghapus makna “Bhinneka Tunggal Ika”.
“Tuhan tidak perlu dibela, merekalah yang sebenarnya justru perlu dibela” merupakan filosofi dari buah pikirnya terkait pluralisme. Bagaimana mungkin manusia berpikir membela Tuhannya yang Maha Agung, Maha Kuasa sedangkan manusia yang berakal sebagai umat-Nya adalah wujud kekuasaan-Nya. Ketika mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama. Konsekuensi dari pembelaan, adalah kritik, dan terkadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang toleransi.(4) Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Wahid, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah globalisasi ini: untuk perdamaian abadi dan saling menghormati antar bangsa dan antar manusia.(4) Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural.(4)
Referensi:
1. Gus Dur: Kisah Lahir dan Wafat Sang Guru Bangsa [Internet]. nu.or.id. [dikutip 22 Januari 2022]. Tersedia pada: https://nu.or.id/fragmen/gus-dur-kisah-lahir-dan-wafat-sang-guru-bangsa-daqW1
2. Biografi Presiden - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia [Internet]. [dikutip 22 Januari 2022]. Tersedia pada: https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/biography/?box=detail&presiden_id=3&presiden=gusdur
3. Anam AM. Konsep Pendidikan Pluralisme Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Cendekia J Education and Society. 18 Februari 2019;17(1):81–97.
4. Abdurrahman Wahid. ISLAMKU, ISLAM ANDA, ISLAM KITA (Agama Masyarakat Negara Demokrasi). 1 ed. Jakarta: The Wahid Institute; 2006.